Khamis, 2 September 2010

Mengapa tidak beri'tikaf....??

I’tikaf, secara bahasa, berarti tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Beri’tikaf bisa dilakukan kapan saja. Namun, Rasulullah saw. sangat menganjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Inilah waktu yang baik bagi kita untuk bermuhasabah dan taqarub secara penuh kepada Allah swt. guna mengingat kembali tujuan diciptakannya kita sebagai manusia. “Sesungguhnya tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu,” begitu firman Allah di QS. Az-Zariyat (51): 56.

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf, khususnya 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, adalah ibadah yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Beliau sendiri melakukanya 10 hari penuh di bulan Ramadhan. Aisyah, Umar bin Khattab, dan Anas bin Malik menegaskan hal itu, “Adalah Rasulullah saw. beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan, pada tahun wafatnya Rasulullah saw. beri’tikaf selama 20 hari. Para sahabat, bahkan istri-istri Rasulullah saw., selalu melaksanakan ibadah ini. Sehingga Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuan saya tak seorang ulama pun mengatakan i’tikaf bukan sunnah.”

“I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.

Itulah urgensi i’tikaf. Ruh kita memerlukan waktu berhenti sejenak untuk disucikan. Hati kita butuh waktu khusus untuk bisa berkonsentrasi secara penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah saw. Kita perlu menjauh dari rutinitas kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Allah saw., bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan iltizam dengan syariat sehingga ketika kembali beraktivitas sehari-hari kita menjadi manusia baru yang lebih bernilai.

I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam, yaitu:

1. I’tikaf sunnah, yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Alah. Contohnya i’tikaf 10 hari di akhir bulan Ramadhan.

2. I’tikaf wajib, yaitu i’tikaf yang didahului oleh nadzar. Seseorang yang berjanji, “Jika Allah swt. menakdirkan saya mendapat proyek itu, saya akan i’tikaf di masjid 3 hari,” maka i’tikaf-nya menjadi wajib.
Karena itu, berapa lama waktu beri’tikaf, ya tergantung macam i’tikafnya. Jika i’tikaf wajib, ya sebanyak waktu yang diperjanjikan. Sedangkan untuk i’tikaf sunnah, tidak ada batas waktu tertentu. Kapan saja. Bisa malam, bisa siang. Bisa lama, bisa sebentar. Seminimal-minimalnya adalah sekejab. Menurut mazhab Hanafi, sekejab tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat. Menurut mazhab Syafi’i, sesaat, sejenak berdiam diri. Dan menurut mazhab Hambali, satu jam saja. Tetapi i’tikaf di bulan Ramadhan yang dicontohkan Rasulullah saw. adalah selama 10 hari penuh di 10 hari terakhir.

Syarat dan Rukun I’tikaf
Ada tiga syarat orang yang beri’tikaf, yaitu muslim, berakal, dan suci dari janabah, haid dan nifas. Artinya, i’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum bisa membedakan (mumayiz), orang yang junub, wanita haid dan nifas.
Sedangkan rukunya ada dua, yaitu, pertama, niat yang ikhlas. Sebab, semua amal sangat tergantung pada niatnya. Kedua, berdiam di masjid. Dalilnya QS. Al-Baqarah (2): 187, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu sedang kamu beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”
Masjid yang mana? Imam Malik membolehkan i’tikaf di setiap masjid. Sedangkan Imam Hanbali membatasi hanya di masjid yang dipakai untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Alasannya, ini agar orang yang beri’tikaf bisa selalu shalat berjama’ah dan tidak perlu meninggalkan tempat i’tikaf menuju ke masjid lain untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Pendapat ini diperkuat oleh ulama dari kalangan Syafi’i. Alasannya, Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid jami’. Bahkan kalau kita punya rezeki, lebih utama kita melakukannya di Masjid Haram, Masjid Nabawi, atau di Masjid Aqsha.
Rasulullah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid sebelum matahari terbenam memasuki malam ke-21. Ini sesuai dengan sabdanya, “Barangsiapa yang ingin i’tikaf denganku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir.”
I’tikaf selesai setelah matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan. Tetapi, beberapa kalangan ulama lebih menyukai menunggu hingga dilaksanakannya shalat Ied.

Ketika Anda i’tikaf, ada hal-hal sunnah yang bisa Anda laksanakan. Perbanyaklah ibadah dan taqarub kepada Allah. Misalnya, shalat sunnah, tilawah, bertasbih, tahmid, dan tahlil. Beristighfar yang banyak, bershalawat kepada Rasulullah saw., dan berdoa. Sampai-sampai Imam Malik meninggalkan aktivitas ilmiahnya. Beliau memprioritaskan menunaikan ibadah mahdhah dalam i’tikafnya.

Meski begitu, orang yang beri’tikaf bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas keduniaan. Rasulullah saw. pernah keluar dari tempat i’tikaf karena mengantar istrinya, Shafiyah, ke suatu tempat. Orang yang beri’tikaf juga boleh keluar masjid untuk keperluan yang diperlukan seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Tapi setelah selesai urutan itu, segera kembali ke masjid. Orang yang beri’tikaf juga boleh menyisir, bercukur, memotong kuku, membersihkan diri dari kotoran dan bau. Bahkan, membersihkan masjid. Masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya ketika orang-orang yang beri’tikaf makan, minum, dan tidur di masjid.

I’tikaf dikatakan batal jika orang yang beri’tikaf meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Sebab, ia telah mengabaikan satu rukun, yaitu berdiam di masjid. Atau, orang yang beri’tikaf murtad, hilang akal karena gila atau mabuk. I’tikaf juga batal jika wanita yang beri’tikaf haid atau nifas. I’tikaf juga batal kalau yang melakukannya berjima’ dengan istrinya. Begitu juga kalau ia pergi shalat Jum’at ke masjid lain karena tempatnya beri’tikaf tidak dipakai untuk melaksanakan shalat jum’at.
~ Larangan dalam iktikaf ramadhan~
Dari Aisyah, ia berkata: "Menurut sunnah, orang yang beriktikaf tidak menjenguk orang sakit, orang meningal, tidak menyentuh dan menggauli isterinya, tidak keluar kecuali untuk keperluan mendesak, dan tidak ada iktikaf kecuali dengan berpuasa, serta tidak ada iktikaf kecuali dimasjid jami. "
( HR. Abu Dawud)

I’tikaf bagi muslimah
I’tikaf disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi.

Kedua, tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat shalat di rumahnya. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.

Terakhir, agar i’tikaf kita berhasil memperkokoh keislaman dan ketakwaan kita, tidak ada salahnya jika dalam beri’tikaf kita dibimbing oleh orang-orang yang ahli dan mampu mengarahkan kita dalam membersihkan diri dari dosa dan cela.

Bagian dari nilai yang terkandung dalam ibadah shaum adalah agar pencernaan tubuh manusia bisa menjalani rehat. Ini seperti dalam dunia pendidikan, di mana ada musim libur tahunan dalam rangka memperbaharui semangat belajar.

I’tikaf hampir sama dengan musim liburan yang merehatkan jiwa dan pikiran, bahkan fisik. I’tikaf merupakan pintu keluar seorang muslim dari rutinitas dan aktivitas kehidupan dunia berikut kesibukan dan kerumitannya. Seorang yang I’tikaf akan menghadap Penciptanya, Dzat Pencipta dunia seisinya ini. Seorang yang beri’tikaf sedang memutus dirinya dari kesibukan dunia dan memburu bekal perjalanan kehidupan yang ia butuhkan sampai hari ajal menjelang. Bukankah ini bagian yang kita pahami dari firman Allah swt. “Dan berbekallah, karena sebaik-baik bekal adalah takwa.”

Dalam I’tikaf, jika dilakukan dengan memenuhi syarat dan kondisi yang mendukung, berikut niat yang lurus, akan mengantarkan pelakunya menemukan dirinya yang sebenarnya di hadapan Allah swt. Tidak ada jarak antara dirinya dan Allah swt. Tidak ada makhluk yang merintanginya. Karena ia diciptakan dalam kondisi seorang sendiri, bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dan akan datang pada hari kiamat seorang diri jua.

Dalam I’tikaf seseorang melakukan proses penguatan imannya kepada Allah swt. iman kepada Sang Pencipta, Dzat yang Mengendalikan segala sesuatu. Karena itu, siapa sebenarnya yang berhak untuk ditakuti?? Atau siapa yang layak ditakuti perhitungannya, selain dari Allah swt.??

Hari-Hari Tertentu

Pelaksanaan I’tikaf hanya beberapa waktu saja, sejumlah hitungan jari, yaitu sepuluh hari terakhir Ramadhan saja, dari tiga ratus enam puluh lima hari yang Allah swt. sediakan. Semestinya perintah ini tidak memberatkan, jika dibanding jumlah hari yang begitu banyak dalam hitungan tahunnya. Sehingga, apakah jika beberapa hari atau beberapa jam seseorang tidak mencari duit dan kekayaan, waktunya digunakan untuk melaksanakan sunnah i’tikaf, ia akan mengalami kerugian atau mengalami bahaya?

Padahal jika ia beri’tikaf, ia telah melaksankan perintah dari Tuhannya, perintah dari Dzat Pemberi Rizki dan Dzat yang Maha Pemurah, Dzat yang Menguasai dunia berikut isinya…

Pemilik dunia ini juga yang menjadikan malam-malam tertentu di akhir Ramadhan sebagai malam-malam ibadah; untuk shalat, menghidupkan malam –qiyamullail-, tilawah dan dzikir, untuk selanjutnya ia keluar dari pelaksanaan i’tikaf dan bulan suci Ramadhan dengan hati yang bersih, iman yang kuat, ilmu dan pengetahuan yang melimpah, dengan itu ia mengetahui dirinya sendiri dan mengenal Tuhannya, yang boleh jadi ia tidak ketahui sebelum ia melakukan i’tikaf.

Jika kita mengetahui sebagian dari nilai dan hikmah i’tikaf ini, kita pasti akan mendudukkannya sesuai porsinya, sebelumnya juga kita tidak akan menzhalimi diri sendiri dengan meremehkannya, juga setelah mengetahui nilainya tidak akan berdiam diri dan bermalas-malasan.

Beri’tikaf berarti meraih sumber mata air yang menguatkan iman laksana mukjizat. I’tikaf menumbuhkan sikap dermawan tak terhingga, mendorong seorang mukmin untuk terus beramal tanpa henti, menumbuhkan cita-cita tanpa putus asa. Beri’tikaf mengikatkan diri dengan Allah swt. yang dengannya tidak akan berarti setiap ikatan-ikatan emosional lainnya. Beri’tikaf sekaligus meringankan beragam rintangan di jalan dakwah dan medan amal.

Berbeda dengan sekelompok orang yang selalu dikungkung beragam pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkannya dengan berbagai alibi dan alasan, walau untuk beberapa hari atau beberapa jam saja untuk beri’tikaf. Orang seperti ini layaknya seseorang yang merawat orang yang sakit, yang selalu membutuhkan perawatan, atau seperti orang jompo yang selalu membutuhkan pengawasan, tidak bisa ia tinggalkan. Kelompok orang yang demikian jauh lebih membutuhkan uluran bantuan dan kebaikan doa, agar Allah swt. melipat gandakan pahala kepada mereka di dunia dan akhirat.

Tipu Daya

Orang yang tidak bisa beri’tikaf pada dasarnya hanya mencari-cari berbagai alasan. Padahal boleh jadi alasan-alasan itu merupakan propaganda dan alibi semata.

Sungguh, dunia terus akan membebani jiwa, bahkan semakin tenggelam dengan kehidupan dunia akan semakin membebani jiwa. Padahal obat dari beban berat jiwa itu adalah i’tikaf.

Perangkap setan akan menyusup dan membisikkan bagi orang yang beri’tikaf bahwa apa yang ia lakukan –bekerja- juga dalam rangkaian beribadah kepada Allah swt, karena itu tidak boleh diganggu dengan i’tikaf. Jika propaganda setan ini terus mendominasi dirinya, maka lama-kelamaan ia akan sulit menerima kebenaran, berat melakukan i’tikaf. Padahal i’tikaf menjadi obat yang disediakan oleh Dzat Yang Maha Penyembuh dari berbagai penyakit.

Ya, hendaknya di hari-hari penghujung Ramadhan ini kita memiliki kemampuan untuk melihat agama dan dunia kita secara seimbang dan proporsional sebagaimana yang dikehendaki Allah swt. dan agar kita merasakan –meskipun sekejap- manisnya memutuskan diri dari kesibukan dunia untuk berintim dengan Allah swt., beri’tikaf. Sehingga dengan upaya itu akan merubah jiwa dan hidup kita menjadi lebih baik, dan itu berlangsung selama Ramadhan satu ke Ramadhan yang berikutnya, biidznillah. Allahu a’lam (Dakwatuna.com)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan