Ahad, 28 Ogos 2011

Mutiara Hikmah dari Imam Hasan Al Bashri



Imam Hasan Al Bashri adalah salah seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in yang banyak berguru kepada para sahabat Rasulullah saw. Beliau lahir di Madinah, tahun 642 Masehi dari ayah bernama Yasar, bekas budak Zaid bin Tsabit dan ibu yang pernah menjadi budak Ummu Salamah, salah satu istri Nabi Muhammad saw. Jadi beliau lahir dalam kalangan keluarga Nabi saw. Bahkan tak jarang Ummu Salamah menyusui bayi Hasan ketika ditinggal oleh ibunya.

Ummu Salamah juga sering membawa Hasan yang masih kanak-kanak ke majelis para Sahabat dan Umar bin Khattab r.a. pernah mendoakannya: “Ya Allah, jadikan ia faham agama dan jadikan orang-orang mencintainya!

“Wahai anak Adam! Kalian tidak lain hanyalah kumpulan hari, setiap satu hari berlalu maka sebagian dari diri kalian pun ikut pergi.”
Kata mutiara 2
“Diantara tanda berpalingnya Allah Subhanahu Wata’ala dari seorang hamba adalah Allah menjadikan kesibukannya pada hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
Kata mutiara 3
Semoga Allah merahmati seorang hamba yang merenung sejenak sebelum melakukan suatu amalan. Jika niatnya adalah karena Allah, maka ia melakukannya. Tapi jika niatnya bukan karena Allah maka ia mengurungkannya.”
Kata mutiara 4
“Tidaklah datang suatu hari dari hari-hari di dunia ini melainkan ia berkata, “Wahai manusia! Sesungguhnya aku adalah hari yang baru, dan sesungguhnya aku akan menjadi saksi (di hadapan Allah) atas apa-apa yang kalian lakukan padaku. Apabila matahari telah terbenam, maka aku akan pergi meninggalkan kalian dan takkan pernah kembali lagi hingga hari kiamat.”
Kata mutiara 5
Janganlah Anda tertipu dengan banyaknya amal ibadah yang telah Anda lakukan, karena sesungguhnya Anda tidak mengetahui apakah Allah menerima amalan Anda atau tidak.”
Kata mutiara 6
Jangan pula Anda merasa aman dari bahaya dosa-dosa yang Anda lakukan, karena sesungguhnya Anda tidak mengetahui apakah Allah mengampuni dosa-dosa Anda tersebut atau tidak.”
Kata mutiara 7
“Saya belum menemukan dalam ibadah, sesuatu yang lebih sulit dari pada shalat di tengah malam.”
Kata mutiara 8
Seorang mukmin hidup di dunia bagaikan seorang tawananberjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala. yang sedang berusaha membebaskan dirinya dari penawanan dan ia tidak akan merasa aman kecuali apabila ia telah
Kata mutiara 9
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kematian, sakit dan sehat (bagi setiap hamba-Nya). Barang siapa mendustakan takdir maka sesungguhnya ia telah mendustakan al-Qur’an. Dan barang siapa mendustakan al-Qur’an, maka sesungguhnya ia telah mendustakan Allah.”
Kata mutiara 10
“Wahai anak Adam, juallah duniamu untuk akhiratmu, niscaya kamu untung di keduanya, dan janganlah kamu jual akhiratmu untuk duniamu, karena kamu akan rugi di keduanya. Singgah di dunia ini sebentar, sedangkan tinggal di akhirat sana sangatlah panjang.”
Seorang pemuda mendatangi al-Hasan al-Bashri dan mengadukan masalah yang sedang ia hadapi kepadanya. Pemuda tersebut berkata, “Saya telah berusaha untuk bisa menjaga shalat malam, akan tetapi sampai saat ini saya masih belum mampu untuk melaksanakannya.” Al-Hasan al-Bashri menjawab, “Dosa-dosamu telah menghalangimu untuk melakukannya.”

Demikianlah, beberapa kalimat penuh hikmah, mutiara islam, dari salah seorang ulama salaf yang patut kita teladani. Semoga bermanfaat.

(BLOG AL-HABIB)

Sabtu, 27 Ogos 2011

Kata-kata mutiara tentang cinta

Cinta adalah salah satu sumber kekuatan unik dalam diri manusia. Ia menjadi tenaga penggerak hati dan jiwa yang akan menghasilkan sikap, perbuatan dan perilaku. Cinta seperti yang terurai dalam sebait sajak dari film indonesia, Ketika Cinta Bertasbih:
Cinta adalah kekuatan yg mampu
mengubah duri jadi mawar
mengubah cuka jadi anggur
mengubah sedih jadi riang
mengubah amarah jadi ramah
mengubah musibah jadi muhibah.
Namun demikian, cinta pun boleh menghasilkan perubahan yang sebaliknya: mengubah mawar menjadi duri, dan seterusnya.
Hal yang demikian boleh terjadi karena cinta bersemayam di dalam hati yang bersifat goyang. Seperti sabda Rasulullah saw. hati itu bersifat mudah terbolak-balik bagaikan bulu yang terombang-ambing oleh angin yang berputar-putar. Sebagaimana amal-amal dan perilaku kita yang sentiasa bersumber dari niat dan motivasi di dalam hati, maka cinta pun boleh mewujud dengan dasar niat yang beraneka rupa. Ada cinta yang tulus suci, penuh kerelaan. Namun ada pula cinta yang penuh duri dan racun. Ada cinta yang merupakan buah keimanan dan ketaqwaan. Namun ada pula cinta yang berlandaskan nafsu hina.

Bagi seorang muslim dan beriman, cinta terbesar dan cinta hakiki ialah cinta kepada Allah. Bentuk cinta dapat kita wujudkan dalam berbagai rupa tanpa batas ruang dan waktu dan kepada siapa atau apa saja asalkan semuanya bersumber dari kecintaan kita kepada Allah dan karena menggapai ridha-Nya.
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (Al-Baqarah: 165)
Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (ikutilah Muhammad saw.), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. (Ali Imran: 31)
“Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. At Tirmidzi)
Agar cinta tidak menjerumuskan kita ke dalam lubang kehinaan, ada baiknya kita mengambil hikmah dari sumber-sumber islam dan perkataan para ulama berikut ini.
Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanah nyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh karena embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.
Hamka
Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat.
Hamka
Tanda cinta kepada Allah adalah banyak mengingat (menyebut) Nya, karena tidaklah engkau menyukai sesuatu kecuali engkau akan banyak mengingatnya.
Ar Rabi’ bin Anas (Jami’ al ulum wal Hikam, Ibnu Rajab)
Aku tertawa (hairan) kepada orang yang mengejar-ngejar (cinta) dunia padahal kematian terus mencarinya, dan kepada orang yang melalaikan kematian padahal maut tak pernah lalai terhadapnya, dan kepada orang yang tertawa lebar sepenuh mulutnya padahal tidak tahu apakah Tuhannya ridha atau murka terhadapnya.
Salman al Farisi (Az Zuhd, Imam Ahmad)
Sesungguhnya apabila badan sakit maka makan dan minum sulit untuk tertelan, istirahat dan tidur juga tidak nyaman. Demikian pula hati apabila telah terbelenggu dengan cinta dunia maka nasihat susah untuk memasukinya.
Malik bin Dinar (Hilyatul Auliyaa’)
Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi kekasihmu.
Ali bin Abi Thalib
Engkau berbuat durhaka kepada Allah, padahal engkau mengaku cinta kepada-Nya? Sungguh aneh keadaan seperti ini. Andai kecintaanmu itu tulus, tentu engkau akan taat kepada-Nya. Karena sesungguhnya, orang yang mencintai itu tentu selalu taat kepada yang ia cintai.
 A’idh Al-Qorni


Demikianlah beberapa kutipan dari sedikit tokoh-tokoh islam yang semoga boleh kita ambil hikmahnya. Semoga Allah memudahkan al-habib untuk menambah koleksi ini dan memberikan manfaat kepada pembacanya

Jumaat, 26 Ogos 2011

Imam Abu Hanifah


 Hari ini, saya nak kongsi cerita sedikit sebanyak tentang Imam Abu Hanifah. Bagi sesiapa yang nak tau tentang Imam ini boleh lah baca. Semoga dapat menambah ilmu walaupun sedikit..

Kelahiran Imam Abu Hanifah 

Imam Abu Hanifah dikenali dengan sebutan Imam Hanafi di kalangan muslimin di nusantara. Imam Abu Hanifah atau nama sebenarnya Numan bin Tsabit bin Zhuthi' lahir pada
tahun 80H/699M di Kufah, Iraq, sebuah bandar yang sudah sememangnya terkenal
sebagai pusat ilmu Islam pada ketika itu. Ianya diasaskan oleh ‘Abdullah ibn Mas‘ud
radhiallahu ‘anh (32H/652M), seorang sahabat zaman Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau berasal dari keturunan parsi.
Ayah dan datuk Abu Hanifah sempat bertemu dengan sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam iaitu Ali bin Abi Thalib di Iraq. Datuknya iaitu Zutha adalah berketurunan Parsi telah memeluk islam. Beliau merupakan seorang hamba yang dimerdekakan dan ada setengah pihak berpendapat bahawa dia tidak pernah menjadi hamba.
Imam Abu Hanifah memiliki gelaran Abu Hanifah yang bermakna suci atau lurus kerana kesungguhannya dalam beribadah sejak kecil, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. Beliau juga dikatakan mendapat gelaran Abu Hanifah kerana mempunyai seorang anak bernama Hanifah yang  bermaksud cenderung kepada agama. Gelaran ini merupakan berkat dari doa Ali bin Abu Thalib, kerana pernah satu ketika ayahnya iaitu Tsabit dibawa oleh datuknya Zutha untuk menziarahi Ali bin Abu Thalib yang berada di Kufah akibat pertikaian politik yang menggoncang umat Islam tatkala itu. Ali bin Abu Thalib mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi tokoh utama di zamannya dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam Abu Hanifah. Namun, tidak lama kemudian ayahnya meninggal dunia. Ayahnya ialah seorang pedagang besar, sempat hidup bersama ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anh. Imam Abu Hanifah sekali-sekala ikut serta dalam urusniaga ayahnya akan tetapi minatnya yang lebih besar ialah ke arah membaca dan menghafal Al-Quran. Minat di dalam bidang agama bermula sejak dari kecilnya lagi.

Perjuagan Imam Abu Hanifah

Sejak kecil lagi beliau telah menunjukkan kecerdasan akal fikiran yang sungguh mengkagumkan. Nu'man kemudiannya dikenali dengan panggilan Abu Hanifah (Hanif erti cenderung/condong kepada agama) kerana ketekunannya beribadah. Kisah perjuagan Abu Hanifah bermula setelah beliau berjumpa dengan seorang tokoh agama yang masyhur pada ketika itu bernama As-Sya’bi. Melihatkan kepintaran dan kecerdasan luar biasa yang terpendam dalam Imam Abu Hanifah, As-Sya’bi menasihatkan beliau agar lebih banyak mencurahkan usaha ke dalam bidang ilmu-ilmu Islam. Melalui nasihat dan dorongan As-Sya’bi, Imam Abu Hanifah mula menceburkan diri secara khusus mempelajari ilmu-ilmu Islam. Imam Abu Hanifah mula belajar dengan mendalami ilmu-ilmu qiraat, ilmu bahasa Arab, ilmu kalam dan lain-lain. Akan tetapi bidang ilmu yang paling diminatinya ialah ilmu hadith dan fiqh. Beliau banyak meluangkan masa dan tenaga untuk mendalaminya. Beliau juga berguru dengan ulama yang hidup sezaman dengannya iaitu Hammad bin Abi Sulaiman. Beliau turut belajar dari ’Atha` bin Abi Rabah, Nafi’ Maula Ibn Umar, Qatadah dan juga Al-Aswad bin Yazid. Antara tokoh ulama Syiah yang sempat beliau temui dan mengutip ilmu dari mereka adalah Imam Zaid bin Ali dan Jaafar al-Sadiq. Rakan dan anak muridnya yang mempelajari ilmu daripadanya ialah Qadhi Abu Yusuf (w.182H), Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189H), Zufar bin Huzail (w.158H), Abdullah bin al-Mubarak dan Waki’ bin al-Jirah. Kecemerlangannya ini telah membuatkan gurunya iaitu Imam Hammad mengambilnya sebagai pengganti di dalam majlis ilmunya beberapa lama. Sepeninggalan gurunya itu, beliau telah dikemukakan dengan 60 soalan yang dijawabnya. Sepulangnya Hammad semula, beliau telah mengemukakan semula 60 soalan itu kepada gurunya untuk dijawab, sebagaimana katanya:
“Beliau sependapat denganku sebanyak 40 isu dan menyelisihi denganku sebanyak 20 isu permasalahan tersebut. Lantas aku berazam pada diriku untuk tidak berpisah dengannya sehinggalah dia meninggal dunia.”
Akhirnya, Imam Abu Hanifah mengambil tugasan gurunya untuk mengajar dan berfatwa selepas beliau meninggal dunia. Malahan, didapati oleh kaum muslimin ketika itu bahawa beliau adalah seorang yang paling layak diikuti pendapat dan fatwanya. Para pendokong kepada usul mazhabnya semakin ramai dan kian banyak disebarkan. Para tokoh sezaman dengannya mengetahui kelebihan beliau di dalam lapangan ijtihad dan fatwa.

Sebagaimana dinyatakan oleh Jaafar bin al-Rabi’:
“Aku berdampingan dengan majlis ilmu Abu Hanifah selama 5 tahun dan aku tidak pernah beliau diam dalam masa yang lama (untuk berfikir). Apabila ditanya tentang persoalan fiqh, beliau akan memberikan pendapatnya bagaikan arus air dari lembah yang deras dan aku mendengar dengan jelas setiap perkataannya. Beliau adalah seorang yang paling utama dari aspek Qiyas.”

Imam al-Syafii berkomentar:
“Manusia di dalam bidang fiqh ini amat memerlukan kepada pendapat Abu Hanifah.”
Berkata pula Qadhi ’Iyadh al-Yahsubi:
“Beliau merupakan salah seorang yang diterima oleh majoriti orang ramai dengan pendapat yang begitu baik, kritis dan bijak dalam hal Qiyas. Memahami fiqh dengan baik dan merupakan salah seorang tokoh utama di dalamnya, namun beliau bukanlah seorang tokoh di bidang hadis. Malahan tidak diasingkan ilmunya dalam hal tersebut sekalipun tidak terdapat sebarang karya berkaitan hadis dinyatakan serta tidak pernah disebutkan darinya oleh pakar hadis sahih (Imam al-Bukhari dan Muslim) sebarang hadis walaupun satu huruf.”

Beliau juga berkesempatan menimba ilmu dari beberapa orang sahabat Nabi SAW yang masih hidup,seperti Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abi Aufa dan Sahal bin Saad. Imam Abu Hanifah juga dekenali dengan sifatnya yang sangat mengasihi guru-gurunya.Beliau berkata bahawa beliau tidak akan pernah melupakan mendoakan guru-guru dalam setiap doa yang dipohonkan kepada Allah SWT. Para ulama besar yang menjadi gurunya tidak kurang daripada 200 orang. Bila salah seorang daripada mereka itu meninggal dunia, Imam Abu Hanifah dilantik untuk mengantikannya. Banyak majlis ilmu yang dipimpin oleh beliau.Sejak itulah nama dan peranan beliau semakin dikenali sehingalah beliau menjadi ulama besar. Beliau juga dihormati dan dikasihi oleh orang ramai kerana kewibawaannya, kewarakan dan ketaqwaannya.
Kemudiannya beliau berhijrah ke bandar Basrah di Iraq, untuk berguru bersama
Hammad bin Abi Sulaiman, Qatadah dan Shu’bah. Setelah sekian lama berguru dengan
Shu’bah yang pada ketika itu terkenal sebagai Amir al-Mu’minin fi Hadith (pemimpin
umat dalam bidang hadith), beliau diizinkan gurunya untuk mula mengajar hadith
kepada orang ramai. Berkata Shu’bah:

“Sebagaimana aku ketahui dengan pasti akan kesinaran cahaya matahari, aku juga
ketahui dengan pasti bahawa ilmu dan Abu Hanifah adalah sepasangan bersama.”

Imam Abu Hanifah meneruskan pembelajarannya dengan bergurukan kepada As-Sya’bi dan beberapa tokoh ilmuan lain di Kufah. Menurut riwayat, jumlah gurunya di Kufah sahaja berjumlah 93 orang. Imam Abu Hanifah tidak hanya berpuas hati dengan pembelajarannya di Kufah dan Basrah di Iraq. Beliau kemudiannya turun ke Makkah dan Madinah untuk menuntut
ilmu lagi. Di sana beliau duduk berguru kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah. Kemudiannya Imam Abu Hanifah duduk pula bersama Ikrimah, seorang tokoh besar agama di Makkah yang juga merupakan anak murid kepada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, ‘Ali bin Abi Thalib ra, Abu Hurairah ra dan ‘Abdullah ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhum. Kehandalan Imam Abu Hanifah dalam ilmu-ilmu hadith dan fiqh diiktiraf oleh Ikrimah sehingga beliau kemudiannya membenarkan Imam Abu Hanifah menjadi guru kepada penduduk Makkah.

Imam Abu Hanifah kemudiannya meneruskan pengajiannya di Madinah bersama Baqir
dan Ja’afar as-Shadiq. Kemudiannya beliau duduk bersebelahan dengan Imam Malik
bin Anas, tokoh besar kota Madinah ketika itu. Walaupun Imam Abu Hanifah 13 tahun
lebih tua daripada Imam Malik, ini tidak menghalangnya untuk turut serta belajar. Apabila guru kesayanganya Hammad meninggal dunia di Basrah pada tahun 120H/738M, Imam Abu Hanifah telah diminta untuk mengganti kedudukan Hammad sebagai guru dan sekaligus tokoh agama di Basrah. Melihatkan tiada siapa lain yang akan meneruskan perjuangan Hammad, Imam Abu Hanifah bersetuju kepada jawatan tersebut. Mulai di sinilah Imam Abu Hanifah mengajar dan menjadi tokoh besar terbaru dunia Islam. Orang ramai dari serata pelusuk dunia Islam datang untuk belajar bersamanya. Di samping mengajar, Imam Abu Hanifah adalah juga seorang pedagang dan beliau amat bijak dalam mengadili antara dua tanggungjawabnya ini sebagaimana diterangkan anak muridnya al-Fudail ibn ‘Iyyadh:

“Adalah Imam Abu Hanifah seorang ahli hukum, terkenal dalam bidang fiqh, banyak
kekayaan, pemurah, suka mengeluarkan harta untuk sesiapa yang memerlukannya, seorang
yang sangat sabar dalam pembelajaran baik malam atau siang hari, tekun berusaha, bercita-cita tinggi, banyak beribadat pada malam hari, banyak berdiam diri, selalu memberi nasihat, sedikit berbicara terkecuali apabila datang kepadanya sesuatu masalah agama, amat pandai menunjuki manusia kepada kebenaran dan tidak mahu menerima pemberian penguasa.” Kaedah yang digunakan oleh Abu Hanifah dalam menentukan hukum ialah, kitab suci Al-Qur’an alkarim, hadist As-Sunnah nabawiyah, Al-Ijmak, Al-Istihsan dan Al-uruf.

Sumbangan Imam Abu Hanifah

Sumbangan Abu Hanifah kepada tamadun Islam sangat banyak diantaranya ialah, beliau adalah ulama pertama yang menyusun kitab Feqah dengan tertib. Menentukan semua kaedah dan mengeluarkan hukum. Kitab yang ditulis ialah Kitab Al-Fiqah Al-Akbar dan Al-Faraid’. Beliau juga banyak menghabiskan masa di Masjid untuk mengajar. Pengaruh mazhab Abu Hanifah dikenali dengan aliran Mazhab Abu Hanafi. Mazhab ini, amat berpengaruh di Iraq dan menjadi Mazhab rasmi Kerajaan Bani Utsmaniyyah. Abu Hanifah mempunyai beberapa orang murid yang ketokohan mereka membolehkan ajarannya diteruskan kepada masyarakat. Antara anak-anak murid Imam Abu Hanifah yang ulung ialah Zufar (158H/775M), Abu Yusuf (182H/798M)
dan Muhammad bin Hasan as-Syaibani(189H/805M).
Beliau adalah seorang yang bertakwa, berakhlak mulia dan seringkali mengeluarkan hartanya kepada para penuntut ilmu. Al-Fudhail bin ’Iyadh menyifatkan beliau:
“Abu Hanifah adalah seorang yang faqih dan terkenal dengan ilmu fiqh dan begitu warak. Beliau juga mempunyai harta yang banyak, terkenal dengan sikap pemurahnya dengan mengeluarkan nafkah kebajikan semampunya. Amat bersabar dalam mengajar ilmu sama ada siang ataupun malam, kuat beribadah pada waktu malam, sering diam dan kurang bercakap dalam perkara yang tidak perlu. Sering mengelakkan diri daripada harta yang diberikan oleh pihak pemerintah.”
Dikenali Imam Abu Hanifah ini merupakan seorang yang tegas mempertahankan kebenaran dan begitu keras dalam pendiriannya. Akibatnya, beliau ditimpa ujian pada zaman Bani Umayyah, apabila Gabenor Iraq iaitu Yazid bin Umar bin Hubairah pada masa pemerintahan khalifah Marwan bin Muhammad menawarkan jabatan hakim kepada beliau.
Tetapi dengan mudah beliau menolaknya dan ini membuatkan Yazid begitu marah dan beliau dihukum dengan 110 kali sebatan. Setiap hari Imam Abu Hanifah disebat sebanyak 10 kali sehinggalah mereka merasa bosan dengan pendirian beliau itu, lalu dilepaskan atas tekanan orang ramai terhadap pemerintah. Pendirian tegas Imam Abu Hanifah ini dapat dinilai dari ungkapannya:  
“Demi Allah, aku tidak akan menduduki jawatan itu, sekalipun aku dibunuh kerananya!”
Kesabaran serta kecekalan beliau dalam menghadapi ujian tersebut jelas dinyatakannya:
“Hukuman dunia dengan sebatan ini masih baik dan lebih ringan bagiku daripada sebatan di akhirat kelak.”
Imam Abu Hanifah sempat menyaksikan peralihan kuasa kerajaan dari tangan Bani Umayyah ke tangan Bani Abbasiyah. Semasa zaman Abu Jaafar al-Mansur pula, Imam Abu Hanifah sekali lagi mendapat tawaran untuk menjadi hakim di Kufah. Jawapan yang sama diberikan olehnya iaitu enggan menjawat sebarang jawatan kehakiman negara. Khalifah Abu Jaafar sendiri bersumpah bahawa beliau harus menerima jawatan itu. Namun, Abu Hanifah tetap menolak dan bersumpah tidak akan menerimanya. Imam Abu Hanifah berkeras menolak tawaran itu.
 Jawapan Abu Hanifah membuatkan al-Mansur marah lalu dia menghantar Imam Abu Hanifah ke penjara. Akan tetapi tekanan daripada orang ramai menyebabkan al-Mansur terpaksa membenarkan Imam Abu Hanifah meneruskan pengajarannya walaupun daripada dalam penjara. Apabila orang ramai mula mengerumuni penjara untuk belajar bersama Imam Abu Hanifah, Al-Mansur merasakan kedudukannya mula tergugat. Al-Mansur merasakan Imam Abu Hanifah perlu ditamatkan hayatnya sebelum terlambat.
Ketika ketegangan itu, seorang muridnya yang sudah menjadi pegawai kerajaan, menasihatinya,
“Apakah tuan akan tetap menolak kehendak khalifah, sedangkan khalifah telah bersumpah untuk memberikan kedudukan tinggi kepada tuan?”.
 Imam Hanafi dengan tegas menjawab:
“Amirul mukminin lebih mampu membayar kifarat sumpahnya daripada aku membayar kifarat sumpahku!”
Khalifah Abu Jaafar al-Mansur memerintahkan Imam Abu Hanifah ditangkap dan disumbat ke dalam penjara Baghdad. Ketika hari, Abu Jaafar mengeluarkan Imam Abu Hanifah dari penjara sekali lagi beliau meujuk agar Imam Abu Hanifah menerima jawatan tersebut dan beliau hanya menjawab dengan lemah lembut dan senyuman manis:
“Demi Allah! Jika aku menghendaki akan kemewahan hidup di dunia ini, tentu aku tidak dipukul dan dipenjarakan. Tetapi aku menghendaki keredaan Allah semata-mata dan untuk memelihara ilmu pengetahuan yang telah aku dapati. Aku tidak akan memalingkan pengetahuan yang aku pelihara selama ini kepada kebinasaan yang dimurkai Allah.”
 
Imam Abu Hanifah mengetahui apa yang bakal terjadi jika dia menerima habuan pemerintah pada waktu itu. Ini kerana pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah berdiri bukan di atas dasar sunnah Rasul, sebaliknya segala fatwa yang bakal dinyatakannya itu sudah pasti perlu mengikut telunjuk dan kehendak pihak kerajaan. Pada zamannya itu, terdapat tiga orang ulama yang menjadi pendebat tradisi keilmuannya iaitu Sufyan al-Tsauri iaitu ulama hadis yang menolak pendapat Ahl al-Ra`yi yang lebih mengutamakan Qiyas daripada hadis Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam. Syuraik bin Abdullah Nakhaii yang menjadi pesaingnya serta Ibn Abi Laila yang mengkritik Abu Hanifah dalam permasalahan Qadha dan Qadar. Begitulah kisah Imam Abu Hanifah yang begitu tegar, kukuh mempertahankan kebenaran walaupun ujian pangkat, harta, bahkan seksaan yang terpaksa dilaluinya. Beliau sendiri berpesan agar tidak dikebumikan pada saat kematiannya di tanah perkuburan yang dirampas oleh pihak pemerintah.


Penilaian para ulama tentang Abu Hanifah

1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.

2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menjawab ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila pengaruh telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.

3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.

4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”

5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.

6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.

7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.

8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mencela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.

9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
 Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :

1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.

2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.

3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.

4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Iaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman. Telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakikat iman, akan tetapi dia termasuk dari sya’ir iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lisan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dan hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya. Dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan mensia-siakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka dia masih dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka Allah akan mengadzabnya dan kalau tidak maka Allah akan mengampuninya.”

5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq. Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq. Coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu adalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini boleh dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450. Kita akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayatnya lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, betapa banyak dari para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kita menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil”

Beberapa nasihat Imam Abu Hanifah


Beliau adalah termasuk imam yang pertama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah, dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dengan ibarat yang berbeza-beza, semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, iaitu wajibnya mengambil hadis dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadis. Diantara nasihat beliau adalah:

a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “ada kalanya diantara para imam yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.

b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil / memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dalam riwayat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya. Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka pastikanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebahagian orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.

Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sperti berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahawa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pisah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpisah disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalau dibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh Al-Albani memberi komen pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupaka udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebahagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.

c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.

Riwayat terakhir Imam Abu Hanifah

Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah ketika masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur iaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut karena Abu Hanifah hendak menjahuhi harta dan kedudukan dari sulthan (raja). Penolakan itu, menyebabkan beliau ditangkap dan dimasukkan kedalam penjara. Imam Abu Hanifah wafat pada bulan Rejab 150H/767M (qaul menyatakan ketika berusia 68 tahun dan sebahagian qaul menyatakan 70 tahun), yakni ketika berada di dalam penjara disebabkan termakan makanan yang diracuni orang. Dalam riwayat lain disebutkan bahawa beliau dipukul dalam penjara sehingga mati. Kematian tokoh ilmuan Islam ini amat dirasai oleh dunia Islam. Jenazah ulama agung ini dimaqamkan dengan penuh penghormatan oleh puluhan ribu umat Islam di tanah perkuburan Al Khaizaran di kota Baghdad. Solat jenazahnya dilangsungkan 6 kali, setiapnya didirikan oleh hampir 50,000 orang jemaah. Sufian As Sauri pernah ditanya kenapa dia sangat menghormati dan memuliakan Imam Abu Hanifah. Beliau menjawab:" Orang itu sangat alim, dalam ilmu agama.Selain menghormati ilmu agamanya, saya menghormati umurnya. Selain menghormati umurnya,saya menghormati ilmu fiqihnya yang amat luas dan juga sifat warak dan taqwanya".



Rabu, 24 Ogos 2011

Born To Fight !!

Setiap dari manusia inginkan kejayaan di dunia dan juga di akhirat. Mengejar kejayaan sebenarnya satu perjuangan yang perlu kita lalui dengan rasa ikhlas, sabar dan rasa cinta pada setiap jalan juang yang kita lalui. Memang tidak di nafikan, dugaan dalam menuju kejayaan dan impian yang kita inginkan memang akan melewati perit getir dan onak duri yang sangat menyakitkan. Jika kita gagal menempuhnya, itulah punca terjadinya kegagalan di tengah perjalanan. Semoga kita semua akan sentiasa bersemangat dan tidak mengenal erti susah demi mengejar kejayaan di dunia dan juga di akhirat kelak. Beberapa kata-kata semangat yang dapat dikongsikan bersama. Semoga tetap IKHLAS, SABAR dan CINTA KEJAYAAN..


Setiap orang memiliki WAWASAN.

Wawasan tanpa tindakan hanyalah angan-angan.
Tindakan tanpa wawasan hanya sia-sia sahaja.
Wawasan diri adalah,
Matlamat, hala tuju, merancang, melaksana dan menilai.

ALLAH MENGGINGATKAN kita semua bahawa,

" Sesungguhnya, Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum itu sehinga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (Qs:Ar-Ra'du : 11) 

Setiap yang berusaha akan memperoleh KEJAYAAN.

Kejayaan adalah hasil orang biasa yang sanggup berusaha luar biasa!!
Usaha yang biasa akan mendatangkan hasil yang biasa. Oleh itu untuk mendapatkan hasil yang luar biasa,   memerlukan usaha yang luar biasa.

Manusia juga berpotensi untuk menjemput KEGAGALAN. 


Seseorang itu, tidak akan berjaya sekiranya:
  1. Berfikiran negatif
  2. Meragui kebolehan diri
  3. Mengikut perasaan- Emosional
  4. Cepat putus asa
  5. Membazir masa
  6. Kurang usaha
  7. Tidak mahu berubah 

Setiap yang bernyawa pasti mempunyai TANGGUNGJAWAB dalam hidup. Terutama dalam mengejar kajayaan.


"The price of greatness is responsibility"
( Untuk mencapai kehebatan, anda perlu memikul tanggungjawab)

Tanggungjawab terhadap DIRI SENDIRI
  1. Membina ketrampilan diri
  2. Menjaga kesihatan diri
  3. Menuntut ilmu dan ketrampilan
  4. Mengurus masa
  5. Sikap dan pemikiran positif
  6. Tekun dan Istiqamah


ALLAH ada dalam setiap usaha kita. Oleh itu JANGAN LUPA bahawa,

Belajar tanpa DOA adalah orang yang SOMBONG.
DOA tanpa belajar adalah SIA-SIA.

Konsep DOA, USAHA, IKHTIAR DAN TAWAKAL perlu di ingat dalam perjuangan.

Semoga kita semua termasuk dalam orang yang menyedari kelemahan dan berusaha merubah menjadi kelebihan..
 INSYALLAH..













Selamat tinggal Ya Ramadhan...

Ya Allah, kami tak dapat berbuat lebih banyak kebaikan di Ramadan ini. Kami hanya mampu untuk menikmati kenikmat, menikmati kesenangan, tanpa dapat memberikan yang terbaik untuk-Mu. Di bulan ini kami lebih banyak meminta berbanding mengerjakan seruan-Mu. Ramadan bagi sebahagian kami, tak ubahnya sebuah pesta. Ramadan bagi segolongan kami, sekadar seremonial ibadah. Nyaris hanya secebis yang dapat kami maknai kemuliaannya.

Ya Allah, kami ingin mengadu kepada-Mu. Meski kami malu karena selalu memalingkan wajah dari perintah-Mu. Kami mencuba menghempaskan beban yang kami derita. Kami berupaya untuk membuang semua penat di jiwa kami. Di akhir Ramadan ini kami cuma dapat mengeluh. Bahkan adakalanya keluhan itu bersumber dari kebodohan kami yang buta atas titah-Mu. Sepertinya kami tak layak berbagi dengan-Mu. Terlalu banyak persoalan yang sebenarnya bersumber dari kesombongan kami, kejahilan kami, dan dari bebalnya kami.

Ya Allah, izinkan kami untuk bersimpuh di hadapan-Mu. Melunturkan dosa dan memudarkan penyakit yang berkarat di hati. Meski kami malu membuka luka-luka ini. Karena luka yang kami miliki, juga akibat kami tak mampu memenuhi syariat-Mu. Kami merasa berada di dalam sebuah lorong yang gelap, dingin, sepi dan sunyi. Hati kami terasa kering, walau setiap hari dibasuh dengan kalimat-kalimat-Mu yang sejuk. Jiwa kami berdebu, meski setiap detik disapu firman-Mu. Ramadan bagi kami, ternyata hanya meninggalkan luka, perit, dan sepi.

 Ya Allah, diantara pilihan kewajiban itu dan yang paling istimewa dari kewajiban itu Engkau jadikan bulan Ramadan yang Kau istimewakan dari bulan yang lain. Kau pilih ia dari semua zaman dan masa; Kau lebihkan ia dari semua waktu dalam setahun dengan Al-qur’an dan cahaya yang Kau turunkan didalamnya, dengan keimanan yang Kau tingkatkan didalamnya, dengan puasa yang Kau wajibkan didalamnya, dengan berdiri malam yang Kau gemarkan didalamnya, dengan malam Qadar yang lebih baik dari seribu bulan yang Kau agungkan didalamnya, kemudian Kau istimewakan kami dari semua umat; maka kami berpuasa atas perintah-Mu, kami persembahkan puasa dan ibadah kami kepada kasih-Mu; melalui itu kami dapat memperoleh pahala-Mu. Kau penuhi apapun yang diinginkan dari-Mu. Kau permurah dengan apa yang diminta dari karunia-Mu. Kau dekat dengan orang yang berusaha mendekati-Mu. Bulan ini telah hadir ditengah-tengah kami dengan kahadiran yang terpuji, telah menemani kami dengan persahabatan sejati, telah menguntungkan kami dengan keuntungan terbaik di seluruh alam.

            Tiba-tiba Ramadhan meninggalkan kami pada akhir waktunya, pada kesempurnaan bilangannya; kami ingin mengucapkan selamat tinggal kepadanya, selamat tinggal kepada dia yang telah menyedarkan kami, merisaukan dan mendukakan kami atas kepergiannya; untuknya kami punya janji untuk menjaga kesuciannya, dan mempertahankan ibadah kami disebelas bulan yang lain.

            Ya Allah, pertemukanlah kami dengan bulan Ramadan tahun depan. Amin!

Roh Di Bulan Ramadhan

Satu perkongsian tentang pentingnya doa seorang muslim untuk muslim yang lain. Tidak terputusnya amalan seorang anak adam ialah anak soleh yang mendoakan kedua orang tuanya. Semoga kita dapat megambil manfaat dari perkongsian ini.. 

" Walau setinggi mana kasih sayangku, sesungguhnya Allah lebih berhak menyayangimu,
Damai lah engkau disana di bawah limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya,
Sesungguhnya kami semua akan menyusulmu di kemudian hari...
Al-Fatihah buat semua muslimin dan muslimat yang telah pergi mendahului kita"

Roh di Bulan Ramadhan
Satu hadith Rasulullah,  menceritakan apabila tiba bulan Ramadhan, semua roh berkumpul di Luh Mahfuz memohon kepada Allah S.W.T untuk kembali ke bumi. Ada roh yang dibenarkan pulang ke bumi dan ada yang tidak dibenarkan.Roh yang dibenarkan pulang adalah kerana amalan baik mereka semasa hayat mereka ataupun ada penjamin-penjamin yang mendoakan mereka. Manakala roh-roh yang tidak dibenarkan pulang disebabkan kesalahan mereka semasa hayat mereka akan terus di penjara di Luh Mahfuz.

Apabila roh dibenarkan pulang, perkara pertama yang mereka lakukan adalah pergi ke tanah perkuburan untuk melihat jasad mereka. Kemudian mereka akan pergi ke rumah anak2 mereka, orang yang mendapat harta pusaka mereka dan ke rumah orang yang mendoakan mereka dengan harapan orang yang mereka lawati itu memberi hadiah untuk bekalan mereka.Perkara ini akan berlarutan sehinggala tibanya Hari Raya Aidilfitri. Pada saat ini mereka akan mengucapkan selamat tinggal kepada jasad dan pulang semula ke Luh Mahfuz dengan bekalan yang diberikan oleh mereka2 yang masih hidup. 
Hikmah adanya alam kubur. Alam kubur membuktikan bahawa Allah itu Maha Penyayang. Orang yang melakukan kesalahan semasa hayatnya boleh dibantu dengan doa orang2 yang masih hidup. Alangkah bahagianya jika seseorang yang telah meninggal dunia masih mendapat bekalan dari orang-orang yang masih hidup.

Oleh itu wahai saudara-saudaraku seiman, jangan biarkan orang-orang yang kita sayang, yang mengadap Allah terlebih dulu daripada kita sepi tanpa doa dan sedekah daripada kita. Sesungguhnya apabila mati seseorang anak adam itu, terputus ia semua hal kecuali 3 perkara iaitu doa anak2 yang soleh, ilmu yang bermanfaat dan sedekah amal jariah.
 

Selasa, 23 Ogos 2011

Mana Mak??

Bismillahirrahmanirrahim..
Sebuah kisah yang menggingatkan kita.. Mungkin ramai dari kita yang kadang tidak menyedari apa yang kita lakukan.. 
Selamat membaca.. mg dapat mengambil manfaat dari kisah ini..
Jam 6.30 petang.
Mak berdiri di depan pintu. Wajah Mak kelihatan resah. Mak tunggu adik bungsu balik dari sekolah agama.
Ayah baru balik dari sawah.
Ayah tanya Mak, “Along mana?’
Mak jawab, “Ada di dapur tolong siapkan makan.”
Ayah tanya Mak lagi,” Angah mana?”
Mak jawab, “Angah mandi, baru balik main bola.”
Ayah tanya Mak, “Ateh mana?”
Mak jawab, “Ateh, Kak Cik tengok tv dengan Alang di dalam?”
Ayah tanya lagi, “Adik dah balik?”
Mak jawab, “Belum. Patutnya dah balik. Basikal adik rosak kot. Kejap lagi kalau tak balik juga jom kita pergi cari Adik.”
Mak jawab soalan ayah penuh yakin. Tiap-tiap hari ayah tanya soalan yang sama. Mak jawab penuh perhatian. Mak ambil berat di mana anak-anak Mak dan bagaimana keadaan anak-anak Mak setiap masa dan setiap ketika.

Dua puluh tahun kemudian
Jam 6.30 petang
Ayah balik ke rumah. Baju ayah basah. Hujan turun sejak tengahari.
Ayah tanya Along, “Mana Mak?”
Along sedang membelek-belek baju barunya. Along jawab, “Tak tahu.”
Ayah tanya Angah, “Mana Mak?”
Angah menonton tv. Angah jawab, “Mana Angah tahu.”
Ayah tanya Ateh, “Mana Mak?”
Ayah menunggu lama jawapan dari Ateh yang asyik membaca majalah.
Ayah tanya Ateh lagi, "Mana Mak?"
Ateh menjawab, “Entah.”
Ateh terus membaca majalah tanpa menoleh kepada Ayah.
Ayah tanya Alang, “Mana Mak?”
Alang tidak jawab. Alang hanya mengoncang bahu tanda tidak tahu.
Ayah tidak mahu tanya Kak Cik dan Adik yang sedang melayan facebook. Ayah tahu yang Ayah tidak akan dapat jawapan yang ayah mahu.

Tidak ada siapa tahu di mana Mak. Tidak ada siapa merasa ingin tahu di mana Mak. Mata dan hati anak-anak Mak tidak pada Mak. Hanya mata dan hati Ayah yang mencari-cari di mana Mak.
Tidak ada anak-anak Mak yang tahu setiap kali ayah bertanya, "Mana Mak?"
Tiba-tiba adik bungsu bersuara, “Mak ni dah senja-senja pun merayap lagi. Tak reti nak balik!!”
Tersentap hati Ayah mendengar kata-kata Adik.

Dulu anak-anak Mak akan berlari mendakap Mak apabila balik dari sekolah. Mereka akan tanya "Mana Mak?" apabila Mak tidak menunggu mereka di depan pintu.
Mereka akan tanya, "Mana Mak." Apabila dapat nombor 1 atau kaki melecet main bola di padang sekolah. Mak resah apabila anak-anak Mak lambat balik. Mak mahu tahu di mana semua anak-anaknya berada setiap waktu dan setiap ketika.

Sekarang anak-anak sudah besar. Sudah lama anak-anak Mak tidak bertanya 'Mana Mak?"
Semakin anak-anak Mak besar, soalan "Mana Mak?" semakin hilang dari bibir anak-anak Mak .
Ayah berdiri di depan pintu menunggu Mak. Ayah resah menunggu Mak kerana sudah senja sebegini Mak masih belum balik. Ayah risau kerana sejak akhir-akhir ini Mak selalu mengadu sakit lutut.

Dari jauh kelihatan sosok Mak berjalan memakai payung yang sudah uzur. Besi-besi payung tercacak keluar dari kainnya. Hujan masih belum berhenti. Mak menjinjit dua bungkusan plastik. Sudah kebiasaan bagi Mak, Mak akan bawa sesuatu untuk anak-anak Mak apabila pulang dari berjalan.

Sampai di halaman rumah Mak berhenti di depan deretan kereta anak-anak Mak. Mak buangkan daun-daun yang mengotori kereta anak-anak Mak. Mak usap bahagian depan kereta Ateh perlahan-lahan. Mak rasakan seperti mengusap kepala Ateh waktu Ateh kecil. Mak senyum. Kedua bibir Mak diketap repat. Senyum tertahan, hanya Ayah yang faham. Sekarang Mak tidak dapat lagi merasa mengusap kepala anak-anak seperti masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka sudah besar. Mak takut anak Mak akan menepis tangan Mak kalau Mak lakukannya.

Lima buah kereta milik anak-anak Mak berdiri megah. Kereta Ateh paling gah. Mak tidak tahu pun apa kehebatan kereta Ateh itu. Mak cuma suka warnanya. Kereta warna merah bata, warna kesukaan Mak. Mak belum merasa naik kereta anak Mak yang ini.

Baju mak basah kena hujan. Ayah tutupkan payung mak. Mak bagi salam. Salam Mak tidak berjawab. Terketar-ketar lutut Mak melangkah anak tangga. Ayah pimpin Mak masuk ke rumah. Lutut Mak sakit lagi.

Mak letakkan bungkusan di atas meja. Sebungkus rebung dan sebungkus kueh koci pemberian Mak Uda untuk anak-anak Mak. Mak Uda tahu anak-anak Mak suka makan kueh koci dan Mak malu untuk meminta untuk bawa balik. Namun raut wajah Mak sudah cukup membuat Mak Uda faham.

Semasa menerima bungkusan kueh koci dari Mak Uda tadi, Mak sempat berkata kepada Mak Uda, "Wah berebutlah budak-budak tu nanti nampak kueh koci kamu ni."

Sekurang-kurangnya itulah bayangan Mak. Mak bayangkan anak-anak Mak sedang gembira menikmati kueh koci sebagimana masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka berebut dan Mak jadi hakim pembuat keputusan muktamat. Sering kali Mak akan beri bahagian Mak supaya anak-anak Mak puas makan. Bayangan itu sering singgah di kepala Mak.

Ayah suruh Mak tukar baju yang basah itu. Mak akur.
Selepas Mak tukar baju, Ayah iring Mak ke dapur. Mak ajak anak-anak Mak makan kueh koci. Tidak seorang pun yang menoleh kepada Mak. Mata dan hati anak-anak Mak sudah bukan pada Mak lagi. Mak hanya tunduk, akur dengan keadaan.

Ayah tahu Mak sudah tidak boleh mengharapkan anak-anak melompat-lompat gembira dan berlari mendakapnya seperti dulu.
Ayah temankan Mak makan. Mak menyuap nasi perlahan-lahan, masih mengharapkan anak-anak Mak akan makan bersama. Setiap hari Mak berharap begitu. Hanya Ayah yang duduk bersama Mak di meja makan setiap malam.
Ayah tahu Mak penat sebab berjalan jauh. Siang tadi Mak pergi ke rumah Mak Uda di kampung seberang untuk mencari rebung. Mak hendak masak rebung masak lemak cili api dengan ikan masin kesukaan anak-anak Mak.
Ayah tanya Mak kenapa Mak tidak telepon suruh anak-anak jemput. Mak jawab, "Saya dah suruh Uda telepon budak-budak ni tadi. Tapi Uda kata semua tak berangkat."

Mak minta Mak Uda telepon anak-anak yang Mak tidak boleh berjalan balik sebab hujan. Lutut Mak akan sakit kalau sejuk. Ada sedikit harapan di hati Mak agar salah seorang anak Mak akan menjemput Mak dengan kereta. Mak teringin kalau Ateh yang datang menjemput Mak dengan kereta barunya. Tidak ada siapa yang datang jemput Mak.

Mak tahu anak-anak mak tidak sedar telepon berbunyi. Mak ingat kata-kata ayah, “Kita tak usah susahkan anak-anak. Selagi kita mampu kita buat saja sendiri apa-apa pun. Mereka ada kehidupan masing-masing. Tak payah sedih-sedih. Maafkan sajalah anak-anak kita. Tak apalah kalau tak merasa menaiki kereta mereka sekarang. Nanti kalau kita mati kita masih ada peluang merasa anak-anak mengangkat kita kat bahu mereka.”

Mak faham buah hati Mak semua sudah besar. Along dan Angah sudah beristeri. Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik masing-masing sudah punya buah hati sendiri yang sudah mengambil tempat Mak di hati anak-anak Mak.

Pada suapan terakhir, setitik air mata Mak jatuh ke pinggan.
Kueh koci masih belum diusik oleh anak-anak Mak.

Beberapa tahun kemudian

Mak Uda tanya Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik, “Mana mak?”.
Hanya Adik yang jawab, “Mak dah tak ada.”
Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik tidak sempat melihat Mak waktu Mak sakit.

Kini Mak sudah berada di sisi Tuhannya bukan di sisi anak-anak Mak lagi.
Dalam isakan tangis, Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik menerpa kubur Mak. Hanya batu nisan yang berdiri terpacak. Batu nisan Mak tidak boleh bersuara. Batu nisan tidak ada tangan macam tangan Mak yang selalu memeluk erat anak-anaknya apabila anak-anak datang menerpa Mak semasa anak-anak Mak kecil dulu.
Mak pergi semasa Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik berada jauh di bandar. Kata Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik mereka tidak dengar handphone berbunyi semasa ayah telepon untuk beritahu mak sakit tenat.

Mak faham, mata dan telinga anak-anak Mak adalah untuk orang lain bukan untuk Mak. Hati anak-anak Mak bukan milik Mak lagi. Hanya hati Mak yang tidak pernah diberikan kepada sesiapa, hanya untuk anak-anak Mak..
Mak tidak sempat merasa diangkat di atas bahu anak-anak Mak. Hanya bahu ayah yang sempat mengangkat jenazah Mak dalam hujan renyai.

Ayah sedih sebab tiada lagi suara Mak yang akan menjawab soalan Ayah,
"Mana Along?" , "Mana Angah?", "Mana Ateh?", "Mana Alang?", "Mana Kak Cik?" atau "Mana Adik?". Hanya Mak saja yang rajin menjawab soalan ayah itu dan jawapan Mak memang tidak pernah silap. Mak sentiasa yakin dengan jawapannya sebab mak ambil tahu di mana anak-anaknya berada pada setiap waktu dan setiap ketika. Anak-anak Mak sentiasa di hati Mak tetapi hati anak-anak Mak ada orang lain yang mengisinya.

Ayah sedih. Di tepi kubur Mak, Ayah bermonolog sendiri, "Mulai hari ini tidak perlu bertanya lagi kepada Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik , "Mana mak?" "

Kereta merah Ateh bergerak perlahan membawa Ayah pulang. Along, Angah, Alang dan Adik mengikut dari belakang. Hati ayah hancur teringat hajat Mak untuk naik kereta merah Ateh tidak kesampaian. Ayah terbayang kata-kata Mak malam itu, "Cantiknya kereta Ateh, kan Bang? Besok-besok Ateh bawalah kita jalan-jalan kat Kuala Lumpur tu. Saya akan buat kueh koci buat bekal."

"Ayah, ayah....bangun." Suara Ateh memanggil ayah. Ayah pengsan sewaktu turun dari kereta Ateh..

Terketar-ketar ayah bersuara, "Mana Mak?"

Ayah tidak mampu berhenti menanya soalan itu. Sudah 10 tahun Mak pergi namun soalan "Mana Mak?" masih sering keluar dari mulut Ayah sehingga ke akhir usia.

Sebuah cerita pendek buat tatapan anak-anak yang kadang-kadang lupa persaan ibu. Kata orang hidup seorang ibu waktu muda dilambung resah, apabila tua dilambung rasa.

Kata Rasulullah saw. ibu 3 kali lebih utama dari ayah. Bayangkanlah berapa kali ibu lebih utama dari isteri, pekerjaan dan anak-anak sebenarnya. Solat sunat pun Allah suruh berhenti apabila ibu memanggil. Berapa kerapkah kita membiarkan deringan telepon panggilan dari ibu tanpa berjawab?