Sabtu, 16 April 2011

SelinGan cinTa dari KhazanaH lamA

Bismillahirrahmanirrahim..
Sebuah cerita yang perlu kita ambil tauladan dalam kehidupan kita. Tanpa kita sedari, syaitan mengganggu kita dalam hal-hal yang kita tidak sedari kesalahannya. Renungan dan teguran dari cerita ini, banyak hikmah dan manfaatnya.. selamat membaca, dan moga dapat mengambil hikmah dari cerita ini.. 


Sebuah kisah cantik yang dikutip oleh Syaikh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dalam Taujih Ruhiyah-nya. Kisah menarik ini, atau yang semakna dengannya juga termaktub dalam karya agung Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang khusus membahas para pecinta dan pemendam rindu.  Raudhatul Muhibbin.

Ini kisah tentang seorang gadis yang sangat cantik. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harum semerbak hingga negeri-negeri yang lain. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan boleh dikira jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga.

Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, peliknya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. bahwa akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulangkali teruji. Namanya kerap muncul dan pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.

Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang wanita berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terganggu oleh waktu, tersekat oleh rasa baru dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi dapat menunggu. Ia telah terbakar rindu pada wajah yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama.

Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu.

Dan ia mendapat jawaban, “Ya”, katanya.

Akhirnya mereka bertemu di suatu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak sebanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berpeluh sejuk. Tapi diberanikan untuk berkata, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.

“Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, “Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”

Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. “Andai saja kau lihat aku”, katanya, “Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”

“Betapa inginnya aku”, kata si gadis, “Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”

Sang pemuda berpeluh sejuk mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. “Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan.”

Si gadis ikut menunduk. “Tapi tahkah engkau”, katanya melanjutkan, “Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegub. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”

“Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. “Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”

Kita cukupkan sampai di sini sang kisah.
Mari kita dengar komentar Syaikh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan tentangnya. “Apa yang kita pelajari dari kisah ini?”, demikian dia bertanya. “Sebuah kisah yang indah. Penuh dengan ‘ibrah dan pelajaran. Kita lihat bahwa sang pemuda demikian fasih membimbing si gadis untuk menghayati kesucian dan ketaqwaan kepada Allah.”

“Tapi”, kata pemuda itu memberi catatan. “Dalam kisah indah ini tanpa kita sedar melupakan satu hal. Bahawa sang pemuda dan gadis melakukan pelanggaran syari’at. Bahwa sang pemuda mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas da’wah dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya boleh kita lihat dalam kisah; sang gadis sama sekali tak mengindahkan da’wahnya. Bahkan ia makin berani dalam kata-kata; mengajukan permintaan-permintaan yang makin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syari’at Allah”

Ya. Dia sama sekali tak memperhatikan isi kalimat da’wah sang pemuda. Buktinya, kalimatnya makin berani dan menimbulkan syahwat dalam hati. Mula-mula hanya mengagumi wajah. Lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu bertautan. Kemudian membayangkan berbaring dalam pelukan. Subhanallah, bagaimana jika percakapan diteruskan tanpa batas waktu?

“Kesalahan!!”, kata Syaikh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan memungkasi, “Telah terjadi sejak awal.” Apa itu? “Mereka berkhalwat! Mereka tak mengindahkan peringatan syari’at dan pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini.”

Ya. Mereka berkhalwat! Bersepi berduaan. Ya. Sang pemuda memang sedang berda’wah. Tapi meminjam salah seorang Akh yang paling saya cintai dalam ‘surat cinta’-nya yang masih saya simpan hingga kini, ini adalah “Da’wah dusta!” Da’wah dusta. Da’wah dusta. Di jalan cinta para pejuang, mari kita hati-hati terhadap jebakan syaithan. Karena yang nampak indah selalu perlu diperiksa dengan ukuran kebenaran.
 

1 ulasan: